Ponorogo,  20 Mei 2016 Suara puji-pujian sholawat mendayu mirip gending cokekan  kesenian khas pesisiran, namun cengkoknya tak terlalu melengking.  Suaranya saling bersaut-sautan, terkadang lirih terkadang kencang mirip  suara suara yang dihembus angin. Syair Arab yang dilagukan ke gending  Jawa, orang Ponorogo mengistilahkan uro-uro (rerengengan) namun kali ini  berisikan sholawat. Selintas telinga saya sudah familer dengan suara  showatan tersebut, sholawat yang selalu dikumandakan ketika menjelang  sholat Jumat atau menunggu iqomah di Masjid Tegalsari Ponorogo.  Sholawatan yang sudah lebih seabad selalu dikumandangkan semenjak Kyai  Ageng Besari mendirikan masjid dan pondok pesantren Tegalsari.  Sholawatan yang bernuansakan Jawa, sholawatan yang sudah menjadi hapalan  di luar kepala orang-orang tua setelah adzan tiba di masjid Tegalsari  sembari menunggu iqomah. Mungkin dulu ini bagian strategi syiar Kyai  Ageng Besari kala itu. Bahkan cucu beliau diambil menantu Keraton  Surakarta gara-gara sholawatan. Kala itu Hansan Besari dan beberapa  santri Tegalsari bersholawatan di masjid Agung Surakarta, suara yang  mendayu menarik perhatian puteri Keraton. Berawal inilah beiau diambil  menantu oleh Keraton. 
Sholawatan  serupa sering dilakukan ketika ada hajatan seperti selamatan bayi  mitoni (7 bulan) atau aqihah-an. Hajatan menjelang pernikahan, hajatan  syukuran ketika naik pangkat. Bedanya dengan sholawatan di masjid adalah  musik pengiringnya, kalau di luar masjid diiring rebana yang berukuran  besar, 4-6 kali ukuran rebana biasa. Bahkan sebesar bedug, namun hanya  satu sisi. Terbangan nama keseniannya, entahlah apa hubungan kata  terbang dengan kesenian sholawatan ini. Bagaimana perkembangan seni  "Terbangan" saat ini?? seni terbangan, sholawatan yang diiringi rebana  ukuran jumbo. 
Seni  terbangan, sholawatan yang diiringi rebana ukuran jumbo.  Menurut Pak  Gecol pemilik warung kopi yang "Buka Setiap Hari Kecuali Pas Tutup" ,  kegiatan ini diadakan dalam rangka menyambut pembukaan acara "Ponorogo Tempo Doeloe" dan malam Nisyfu Sa'ban. 
Seni  terbangan ini juga untuk mengenang "Ponorogo Tempo Doeloe", terang nya.  Kesenian ini sudah langka dan jarang dilakukan di saat ini.  Perkembangan seni terbangan saat ini ada penggabungan unsur seni reyog  berupa kendang, kempul, dan angklung. Menurutnya dulu hanya rebana biasa  ditampah kecrek. Busanapun berubah memakai pakaian warok, beda jaman  penulis kecil dulu berupa pakaian seadanya, sambil berkalung srung atau  bebetan sarung, dan baju yang sama ketika sedang melakukan sholat. Hal  langka masih ada seni terbangan kata salah seorang pengunjung, karena  kalah sama ndangdutan. 
Bangga  masih ada yang nguri-uri (melestarikan) di jaman sekarang ini. "Kalah  karo ndangdutan om makane bocah enom saiki gak kenal terbangan..." kata  nya. Adanya penabuh rebana berusia muda adalah kebanggaan lainnya,  karena ada regenerasi. Menurut Pak Gecol seni terbangan ini berasal dari  desa Srandil Jambon (Ponorogo barat). Terbangan Ki Muno Biyat namanya,  menurutnya sudah ada atau berdiri semenjak ada pemuda Srandil yang  menjadi santri di Tegalsar. Sepulang menyantri pemuda itu meieruskan  tradisi sholawatan di desanya. Mungkin sekitar tahun 1850, paparnya. 
Banyak  group terbangan di Ponorogo, hanya saja kurang terdata menyebar dimana  saja. Menjelang puasa, Maulid nabi, atau hari besar keagamaan seni  tersebut digelar. Namun sekepnya hanya lingkungan. Tak heran kalau  Ponorogo disebut bumi sholawat, kota santri. Karena tradisi pesantren  masih bisa dinikmati hingga sekarang, katanya lagi.  
Seni Terbangan Sebagai Pembuka Ponorogo Tempo Doeloe
4/
5
Oleh 
Admin


 
