Friday, October 9, 2015

Pameran Pusaka Dalam Rangka Grebeg Suro 2015


Ponorogo, 9 Oktober 2015
Bagi orang yang suka atau cinta sesuatu, materi tidak bisa menjadi ukuran, berapapun harganya, seberapa mahalnya pasti dia akan berusaha mendapatkannya dengan berbagai cara. Hal itulah yang diungkapkan pak Kenit salah satu kolektor pusaka. Bagi dirinya merupakan pantangan mengistilahkan jual beli barang pusaka barang warisan budaya, dalam kalangannya sesama kolektor mengistilahkan 'mas kawin', mas kawin ini tidak ada patokannya bagi siapa yang menyukai atau membutuhkan pasti dibayar asalkan ada yang melepasakan, jelasnya.

Mereka juga tidak boleh menyebut memiliki barang-barang pusaka tersebut meskipun sejatinya itu merupakan koleksinya. "Kulo namung kedunungan mas...." katanya, dia cuma kebetulan ketempatan.
Memiliki berarti menguasai dan terkesan ada riak atau kesombongan sehingga merasa ber-hak. Mereka menganggap barang pusaka adalah barang resik (bersih) barang warisan para leluhur yang diperoleh dengan segala perjuangan luar biasa, tirakat dan menyucikan diri. Mereka menganggap kolektor atau pemilik adalah wadah atau tempat.
"Barang-barang resik tersebut tidak bakalan mau menempati wadah yang kotor, barang bersih harus ditempat yang bersih, barang kotor tempatnya ya ditempat kotor." kata nya.


Pak Kenit yang tergabung dalam Paguyuban Tunggul Nogo mengikuti pameran dalam rangka menyabut Grebeg Suro yang diadakan di pendopo agung kabupaten Ponorogo, dia tidak mau diistilahkan pamer lagi-lagi dia takut disebut sombong, dia ingin orang lain bisa menikmati dengan melihat barang-barang bersejarah ini. Karena sudah jarang sekali orang jaman sekarang yang peduli dan mau merawat barang pusaka dengan berbagai alasan.
Ratusan jenis pusaka yang dipamerkan di tempat ini umumnya berupa keris, pedang, dan senjata perang jaman dahulu. Umur benda-benda pusaka sudah sangat tua, mulai jaman kerajaan Hindu di Indonesia sampai jaman kejayaan Islam di Nusantara. Setiap pusaka mempunyai cerita, sejarah, serta pernah dipergunakan pada masa kejayaan era pusaka tersebut dibuat.

Pameran ini tak hanya dikuti kolektor tuan rumah, beberapa kolektor dari Yogyakarta, Surakarta, Jakarta, Bandung, Kutai Taruma Negara, Sulawesi, dan Bali. Pengunjung bisa melihat dari dekat koleksi-koleksi dari pelosok nusantara, karena banyak koleksi berasal dari daerah lain meski para kolektor bukan berasal dari daerah asal pusaka tersebut dibuat.
Di pendopo ini juga digelar bursa barang pusaka, banyak kolektor dan peng-hoby barang pusaka akan hadir, entah namanya bursa atau lelang namun intinya mereka melepas dan menerima barang-barang tersebut. Tempat bursa ditempatkan di bagian tengah pendopo, sedangan gerai pameran berada di barat dan timur.

Ada juga senjata koleksinya yang bentuk dan ukirannya perpaduan antara pusaka kerajaan di Jawa dan kerajaan di Kalimantan, ini pertanda kalau jaman pusaka dibuat sudah ada komunitas yang dihuni oleh kedua kerajaan tersebut, paling tidak sudah ada kerja sama baik sejara ekonomi ataupun budaya, jelasnya lagi.
Dia datang ke pameran bukan untuk menjual atau melepas, kalau bisa malah ingin menambah koleksinya.
Menurut Pak Gatot mengoleksi barang pusaka sama halnya menjada warisan budaya, karena bila barang-barang seperti ini jatuh ke kolektor lura negeri sama halnya Indonesia kehilangan barang sejarah, kehilangan budaya, kehilang warisan leluhur, katanya.
Belum ada undang-undang khusus yang mengatur keluar masuknya senjata pusaka sering kali barang pusaka sering lepas ke kolektor manca negara, katanya. Berbeda dengan barang yang sudah masuk cagar budaya perlindunganya lebih ketat. Dia berharap pemerintah tanggap akan hal ini, karena tak mungkin dia terus mengoleksi barang barang tersebut karena keterbatasan dana. Barang-barang pusaka ini dia dapatkan dari lelang dan bursa, dia bermaksut ingik mengoleksi agar tidak lepas pada kolektor asing yang juga sama-sama memburunya.

Semoga dengan digelarnya pameran benda pusaka ini bisa membangkitkan kecintaan kita pada warisan budaya, mereka begitu peduli akan barang pusaka warisan leluhur tersebut. Sementara diluar kalangan mereka beredar anggapan musrik, syirik, menyekutukan. Itulah kenyataan yang harus dihadapi, semoga kita semua ikut peduli, begitu juga pemerintah terutama kementrian yang terkait. Barang-barang pusaka tersebut tentunya tak ternilai harganya. Kalau bukan kita siapa yang akan peduli??
"Selamat datang di Ponorogo Bumi Wengker, Selamat datang di Kota budaya"

Penulis Nanang Diyanto

Artikel Terkait

Pameran Pusaka Dalam Rangka Grebeg Suro 2015
4/ 5
Oleh

Berlangganan

Suka dengan artikel di atas? Silakan berlangganan gratis via email